Sponsored Links
Loading...
Bioremediasi dengan Perlakuan Hayati

Upaya pengolahan limbah B3 baik di darat (tanah dan air tanah) ataupun di laut telah banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ataupun metoda konvensional dalam mengatasi pencemaran seperti dengan cara membakar (incinerasi), menimbun (landfill), menginjeksikan kembali sludge keformas minyak (slurry fracture injection) dan memadatkan limbah (solidification). Teknologi-teknologi ini dianggap tidak efektif dari segi biaya (cost effective technology), waktu (time consuming)dan juga keamanan (risk). Guna mencegah dampak lebih parah, lokasi tercemar tersebut dapat dilakukan kegiatan pemulihan kondisinya yang sering dikenal dengan istilah remediasi. Sebelum melakukan remediasi, hal yang perlu diperhatikan:
1. Jenis polutan (organik atau anorganik), terdegradasi tidak, berbahaya atau tidak
2. Berapa banyak zat polutan yang mencemari tanah
3. Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan Fosfat (P)
4. Jenis tanah
5. Kondisi tanah (basah atau kering)
6. Berapa lama telah terendapkan polutan zat di lokasi
7. Kondisi pencemaran (sangat penting untuk dibersihkan/bisa ditunda).
Ada 2 jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, ventilasi (injection), dan bioremediasi. Kita tak perlu repot menggali tanah dan memindahkannya ke lokasi khusus. Di Amerika Serikat (AS), teknik ini banyak diadopsi sebab biaya penggalian dan pemindahan tanah tergolong mahal (Anonimous, 2006).
Sementara pada remediasi ex-situ, tanah tercemar digali dan dipindahkan ke dalam penampungan yang lebih terkontrol. Lalu diberi perlakuan khusus dengan memakai mikroba. Remediasi ex-situ bisa lebih cepat dan mudah dikontrol. Dibanding in-situ, ia mampu meremediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam. Pembersihan off-site yang jauh lebih mahal dan rumit.
Salah satu teknik remediasi yang sekarang sering digunakan adalah bioremediasi, cara ini banyak digunakan memulihkan tanah yang tercemar senyawa hidrokarbon. Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Kelebihan teknologi ini ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel.
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat polutan menjadi kurang beracun atau tidak beracun (karbondioksida dan air). Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi, yaitu:
- Merangsang aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi kejangkitan) dengan penambahan gizi, kondisi redoks, optimasi dari pH, dsb.
- Inokulasi (penanaman) mikroorganisme dari kejangkitan di lokasi, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus.
- Penerapan immobilized enzymes.
- Penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghapus atau mengubah polutan.
Bioremediasi proses harus mempertimbangkan suhu tanah, ketersediaan air, nutrisi (N, P, K), rasio C : N kurang dari 30 : 1, dan ketersediaan oksigen.
Mikroorganisme dalam Bioremediasi

Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

Jamur pelapuk putih dari spesies Marasmius sp, telah dikembangkan untuk menjadi mikroba pengurai polutan, terutama hidrokarbon minyak bumi. Jamur pelapuk putih ini secara khusus mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menguraikan polutan dengan struktur senyawa aromatik, seperti senyawa-senyawa terklorinasi. Penggunaan jamur ini terus disempurnakan, selain itu juga secara paralel dilakukan eksplorasi jenis jamur lainnya, termasuk mekanisme enzimatik jamur untuk menghasilkan proses penguraian yang lebih efektif. Penggunaan jamur dalam proses bioremediasi mempunyai beberapa keunggulan karena jamur mempunyai kemampuan bertahan lebih tinggi di dalam lingkungan yang toksik. Enzim pengurai polutan disekresikan oleh miselium jamur yang dapat menguraikan polutan dengan konsentrasi dan berat molekul yang tinggi. Miselium jamur dapat menembus tanah dengan porositas rendah misal tanah liat, sehingga polutan yang terjebak di dalamnya dapat terurai. Hal ini dilakukan secara lambat oleh bakteri yang tumbuh dengan mekanisme duplikasi. Tanah yang dihasilkan setelah proses bioremediasi selesai menjadi tanah yang bersih, bertekstur seperti kompos atau sedimen. Produk akhir ini dapat digunakan sebagai tanah pencampur untuk proses bioremediasi tahap selanjutnya, atau landscaping, tanah pengisi, dll.
Penggunaan jamur ini aman, ekonomis, dan operasional dan pemeliharaannya mudah. Tidak ada konstruksi khusus untuk melakukan proses mikoremediasi ini. Teknik bioremediasi yang telah banyak dilakukan akan dengan mudah menggunakan inokulan jamur ini sebagai mikroorganisme pengurainya.
Sumber : http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/962-bioremediasi-dengan-perlakuan-hayati
Sponsored Links
Loading...
loading...