Sponsored Links
Loading...
Sebagian orang mungkin menganggap profesi sebagai polisi memiliki hidup yang serba kecukupan. Karena mereka dinilai berpenghasilan tinggi. Namun, anggapan itu mungkin hanya berlaku untuk para polisi yang punya pangkat tinggi.
Sedangkan para polisi yang masih berpangkat rendah hanya bergaji pas-pasan. Dengan begitu, mereka mesti banting tulang dengan menyambi pekerjaan lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti para polisi teladan ini, mereka tak malu dan gengsi bekerja sebagai apa pun.
Bagi mereka yang terpenting ialah halal serta tak merugikan orang lain. Berikut adalah para polisi teladan yang memilih kerja halal di samping menjadi polisi:
Sedangkan para polisi yang masih berpangkat rendah hanya bergaji pas-pasan. Dengan begitu, mereka mesti banting tulang dengan menyambi pekerjaan lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti para polisi teladan ini, mereka tak malu dan gengsi bekerja sebagai apa pun.
Bagi mereka yang terpenting ialah halal serta tak merugikan orang lain. Berikut adalah para polisi teladan yang memilih kerja halal di samping menjadi polisi:
1.
Bripka Seladi nyambi sebagai pemulung sampah
Bripka Seladi (58) pandai memanfaatkan peluang untuk menambah penghasilan. Anggota Satuan Lalu Lintas Polresta Malang ini menyambi sebagai pemulung plastik dan barang bekas. Pekerjaan sampingan ini dilakukan di luar jadwal piket.
Ketika Seladi sudah berada di antara barang-barang bekas, sama sekali tidak menyangka jika dia seorang polisi. Seperti yang merdeka.com saksikan saat bertemu kemarin. Dengan kaos lusuh dan topi terbalik, tangan Seladi cekatan memilah barang yang sekiranya masih bisa dijual dari tumpukan sampah di depannya.
"Ini rezeki, kenapa harus dibuang-buang. Sampingan saja, satu jam atau dua jam waktu luang saya manfaatkan untuk kegiatan ini," kata Seladi di Kecamatan Klojen, Kota Malang.
Tumpukan sampah yang kotor dan bau menggunung dan memenuhi gudangnya. Selama bekerja, Seladi dibantu dua orang. Salah satunya putra kedua, Rizaldy Wicaksono (23) yang baru saja selesai kuliah D2 di Universitas Malang jurusan Teknik Informatika. Keduanya tak kalah cekatan, seolah berlomba mendapatkan sampah paling banyak.
Rumah yang dijadikan tempat pengumpulan sampah adalah rumah seorang karib yang dipinjam. Rumah itu mulai digunakan sejak tahun 2008, tetapi Seladi sudah dua tahun sebelumnya menjadi pemulung.
"Sejak 2008, rumah ini dipinjami teman. Kalau dulu langsung dijual ke pengepul karena tidak ada tempat, sekarang dikumpulkan baru kemudian dijual," katanya.
Seladi menceritakan, bisnis sampah yang digelutinya berawal saat dirinya melihat sampah menumpuk di Polresta. Suatu saat, dirinya datang ke pengepul rongsokan dan ternyata laku dijual.
"Saya melirik, wah ini rezeki juga. Jangan dibuang-buang. Buat sampingan tambahan. Intinya, dari pada dibuang-buang," katanya.
Seladi kemudian mengumpulkan sampah hanya di lingkungan Polresta Malang, tetapi setelah itu berkeliling-keliling kota. Setiap bak sampah ditengok untuk melihat barangkali ada barang yang masih digunakan. Kegiatan mencari sampah dilakukan di luar tugas, yaitu malam hari.
Seiring waktu, Seladi tidak lagi mencari di bak sampah, tetapi bekerja sama dengan pihak lain yang bersedia mengantarkan sampah ke gudangnya. Seladi menggunakan waktu luangnya untuk memilah-milah sampah sebelum kemudian dijualnya.
"Kenapa harus malu, ini rezeki juga," tegas pria kelahiran Dampit, Kabupaten Malang ini.
Selain soal bisnis sampah, penampilan Seladi memang jauh dari kesan mewah. Dia selalu menggunakan sepeda onthel warna putih untuk bekerja.
"Pukul 05.00 WIB sudah berangkat dari rumah. Pakai sepeda onthel putih itu," tuturnya.
Jarak rumah Seladi ke Mapolresta Kota Malang sekitar lima kilometer. Setiap pukul 06.00 WIB dia harus mengikuti apel, sebelum kemudian menuju lokasi jaga sesuai dengan jadwal.
Rabu (18/5) lalu, Seladi mendapatkan giliran berjaga di depan Kantor Telkom Blimbing. Sekitar pukul 06.30 WIB, dia sudah berada di lokasi.
Selama sekitar 1,5 jam, Seladi terlihat mengatur arus dan menyeberangkan pejalan kaki. Beberapa orang terlihat melanggar aturan dengan tidak mengenakan helm. Seladi pun memberi arahan tentang bahayanya jika terjadi kecelakaan.
Tidak sedikit warga yang akrab dengan Seladi. Mereka menyapa dengan melambaikan tangan, atau membunyikan klakson.
Seladi bertutur, ada satu cita-cita yang hingga kini belum tercapai, yakni mewujudkan keinginan sang anak menjadi polisi. Rizaldy memang berkeinginan keras mengikuti jejak sang ayah.
Sudah tiga kali Rizaldy mendaftar dan tes masuk polisi. Namun semuanya gagal. Rizaldy mengaku masih akan mencoba lagi di kesempatan terakhirnya.
"Sudah tiga kali daftar masih gagal. Nanti mau daftar lagi, kesempatan terakhir," kata Rizaldy.
Ketika Seladi sudah berada di antara barang-barang bekas, sama sekali tidak menyangka jika dia seorang polisi. Seperti yang merdeka.com saksikan saat bertemu kemarin. Dengan kaos lusuh dan topi terbalik, tangan Seladi cekatan memilah barang yang sekiranya masih bisa dijual dari tumpukan sampah di depannya.
"Ini rezeki, kenapa harus dibuang-buang. Sampingan saja, satu jam atau dua jam waktu luang saya manfaatkan untuk kegiatan ini," kata Seladi di Kecamatan Klojen, Kota Malang.
Tumpukan sampah yang kotor dan bau menggunung dan memenuhi gudangnya. Selama bekerja, Seladi dibantu dua orang. Salah satunya putra kedua, Rizaldy Wicaksono (23) yang baru saja selesai kuliah D2 di Universitas Malang jurusan Teknik Informatika. Keduanya tak kalah cekatan, seolah berlomba mendapatkan sampah paling banyak.
Rumah yang dijadikan tempat pengumpulan sampah adalah rumah seorang karib yang dipinjam. Rumah itu mulai digunakan sejak tahun 2008, tetapi Seladi sudah dua tahun sebelumnya menjadi pemulung.
"Sejak 2008, rumah ini dipinjami teman. Kalau dulu langsung dijual ke pengepul karena tidak ada tempat, sekarang dikumpulkan baru kemudian dijual," katanya.
Seladi menceritakan, bisnis sampah yang digelutinya berawal saat dirinya melihat sampah menumpuk di Polresta. Suatu saat, dirinya datang ke pengepul rongsokan dan ternyata laku dijual.
"Saya melirik, wah ini rezeki juga. Jangan dibuang-buang. Buat sampingan tambahan. Intinya, dari pada dibuang-buang," katanya.
Seladi kemudian mengumpulkan sampah hanya di lingkungan Polresta Malang, tetapi setelah itu berkeliling-keliling kota. Setiap bak sampah ditengok untuk melihat barangkali ada barang yang masih digunakan. Kegiatan mencari sampah dilakukan di luar tugas, yaitu malam hari.
Seiring waktu, Seladi tidak lagi mencari di bak sampah, tetapi bekerja sama dengan pihak lain yang bersedia mengantarkan sampah ke gudangnya. Seladi menggunakan waktu luangnya untuk memilah-milah sampah sebelum kemudian dijualnya.
"Kenapa harus malu, ini rezeki juga," tegas pria kelahiran Dampit, Kabupaten Malang ini.
Selain soal bisnis sampah, penampilan Seladi memang jauh dari kesan mewah. Dia selalu menggunakan sepeda onthel warna putih untuk bekerja.
"Pukul 05.00 WIB sudah berangkat dari rumah. Pakai sepeda onthel putih itu," tuturnya.
Jarak rumah Seladi ke Mapolresta Kota Malang sekitar lima kilometer. Setiap pukul 06.00 WIB dia harus mengikuti apel, sebelum kemudian menuju lokasi jaga sesuai dengan jadwal.
Rabu (18/5) lalu, Seladi mendapatkan giliran berjaga di depan Kantor Telkom Blimbing. Sekitar pukul 06.30 WIB, dia sudah berada di lokasi.
Selama sekitar 1,5 jam, Seladi terlihat mengatur arus dan menyeberangkan pejalan kaki. Beberapa orang terlihat melanggar aturan dengan tidak mengenakan helm. Seladi pun memberi arahan tentang bahayanya jika terjadi kecelakaan.
Tidak sedikit warga yang akrab dengan Seladi. Mereka menyapa dengan melambaikan tangan, atau membunyikan klakson.
Seladi bertutur, ada satu cita-cita yang hingga kini belum tercapai, yakni mewujudkan keinginan sang anak menjadi polisi. Rizaldy memang berkeinginan keras mengikuti jejak sang ayah.
Sudah tiga kali Rizaldy mendaftar dan tes masuk polisi. Namun semuanya gagal. Rizaldy mengaku masih akan mencoba lagi di kesempatan terakhirnya.
"Sudah tiga kali daftar masih gagal. Nanti mau daftar lagi, kesempatan terakhir," kata Rizaldy.
2.
Aiptu Ruslan pulang dinas jadi tukang sol sepatu
Polisi tengah jadi sorotan. Sejumlah anggota polisi lalu lintas dilaporkan karena menilang pengendara motor dan menerima uang damai. Mereka mencoreng nama korps karena menerima uang haram.
Ada kisah menarik bagaimana seorang polisi rela bekerja sebagai tukang sol sepatu di pasar saat tak berdinas. Demi mencari uang halal, dia menjahit sepatu dan sandal yang sobek dengan imbalan sedikit uang.
Aiptu Ruslan, namanya. Sehari-hari menjabat sebagai Kanit Binmas Polsek Pidie di Aceh.
Sudah bertahun-tahun pekerjaan itu dilakukan. Dia tak malu menjalani pekerjaan sampingan sebagai tukang sol sepatu untuk menambah uang belanja untuk istri dan kelima anaknya.
"Mencari rezeki itu yang penting halal," kara Aiptu Ruslan seperti dikutip dari Humas Polres Pidie.
Aiptu Ruslan juga menjalani profesi sampingan ini untuk membiayai pengobatan orang tuanya yang telah lama sakit keras dan memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk merawatnya.
Sehari-hari Ruslan tetap bersemangat tetap menjalankan tugas pokoknya sebagai Anggota Polri yang berperan sebagai Kanit Binmas Polsek Pidie dan sering melakukan penyuluhan-penyuluhan ke desa-desa.
Ada kisah menarik bagaimana seorang polisi rela bekerja sebagai tukang sol sepatu di pasar saat tak berdinas. Demi mencari uang halal, dia menjahit sepatu dan sandal yang sobek dengan imbalan sedikit uang.
Aiptu Ruslan, namanya. Sehari-hari menjabat sebagai Kanit Binmas Polsek Pidie di Aceh.
Sudah bertahun-tahun pekerjaan itu dilakukan. Dia tak malu menjalani pekerjaan sampingan sebagai tukang sol sepatu untuk menambah uang belanja untuk istri dan kelima anaknya.
"Mencari rezeki itu yang penting halal," kara Aiptu Ruslan seperti dikutip dari Humas Polres Pidie.
Aiptu Ruslan juga menjalani profesi sampingan ini untuk membiayai pengobatan orang tuanya yang telah lama sakit keras dan memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk merawatnya.
Sehari-hari Ruslan tetap bersemangat tetap menjalankan tugas pokoknya sebagai Anggota Polri yang berperan sebagai Kanit Binmas Polsek Pidie dan sering melakukan penyuluhan-penyuluhan ke desa-desa.
3.
Aipda Suyono nyambi buka warung kaki lima
Saat ini membuka usaha sampingan banyak diminati oleh sebagian para pegawai di instansi mana pun. Itu dilakukan sebagai bentuk tambahan pemasukan pundi-pundi rupiah ke dalam kantong mereka.
Seperti yang dilakukan personel Kepolisian Resor Berau, Kalimantan Timur, Ajun Inspektur Polisi Dua Suyono. Di tengah kesibukan sebagai anggota polri, dia juga membuka usaha warung makan pinggir jalan di Tanjung Redeb, Kalimantan Timur.
Dikutip dari Humas Polres Berau Rabu (24/2), warung makan yang dijajakan oleh Suyono ini mempunyai menu utama makanan laut. Tapi selain itu, menu lain juga tersedia di warung yang dibuka setiap malam hari tersebut.
Bila tidak ada kesibukan dinas, bapak dua anak itu tak pernah menyia-nyiakan waktunya mangkal di warung yang diberi nama 'Mas Beleng'. Dia bahkan tak canggung untuk melayani pembeli yang memburu makanannya itu.
Seperti umumnya pedagang kaki lima, Suyono juga dengan cekatan membungkus atau menyediakan semua menu yang dipesan pelanggan.
Seperti yang dilakukan personel Kepolisian Resor Berau, Kalimantan Timur, Ajun Inspektur Polisi Dua Suyono. Di tengah kesibukan sebagai anggota polri, dia juga membuka usaha warung makan pinggir jalan di Tanjung Redeb, Kalimantan Timur.
Dikutip dari Humas Polres Berau Rabu (24/2), warung makan yang dijajakan oleh Suyono ini mempunyai menu utama makanan laut. Tapi selain itu, menu lain juga tersedia di warung yang dibuka setiap malam hari tersebut.
Bila tidak ada kesibukan dinas, bapak dua anak itu tak pernah menyia-nyiakan waktunya mangkal di warung yang diberi nama 'Mas Beleng'. Dia bahkan tak canggung untuk melayani pembeli yang memburu makanannya itu.
Seperti umumnya pedagang kaki lima, Suyono juga dengan cekatan membungkus atau menyediakan semua menu yang dipesan pelanggan.
4. Aiptu Mustamin menjelma menjadi penambal ban
Jika suatu hari kendaraan Anda tiba-tiba bermasalah di tengah jalan, di dekat kawasan monumen Mandala, segera menuju ke arah belakang kantor Pengadilan NegeriMakassar, Sulawesi Selatan. Tepatnya di ujung Jalan Amanaggapa, yang memotong Jalan Jenderal Sudirman.
Di sisi kiri pelataran monumen itu terdapat tukang tambal siap membantu. Ban kendaraan bocor, tambah angin, atau sekedar memperbaiki rantai motor yang lepas bisa dikerjakan.
Seorang pekerjanya terbilang cukup umur, tetapi masih sigap melayani. Bayarannya pun cukup murah. Tambal ban dibanderol Rp 15 ribu, sedangkan buat tambah angin satu ban sepeda motor dihargai Rp 1.000. Sembari kendaraan dikerjakan, Anda bisa sambil minum kopi dan minum-minuman ringan di seberang jalan, dilayani istri sang tukang tambal ban ini.
Ternyata pemilik kios tambal ban itu adalah Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Mustamin (57), dan istrinya, Nursin Warlela (53). Sudah lama keduanya mencari penghasilan tambahan buat menghidupi keluarga, selain dari gaji seorang abdi negara. Sudah 20 tahun dia menekuni pekerjaan itu.
Menjadi tukang tambal bagi Mustamin ternyata bukan sekadar mencari penghasilan tambahan, tetapi juga menyalurkan hobi. Dia berusaha menebalkan telinga dari cibiran orang. Anak-anaknya juga sempat meminta supaya dia berhenti menjadi tukang tambal ban. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka luluh juga. Bahkan dua dari empat anaknya juga menjadi polisi.
Mustamin ngotot menjadi tukang tambal saat lepas tugas, dengan catatan tidak boleh bekerja hingga malam. Sang istri juga menjual kopi menggunakan gerobak.
"Anak-anak sempat meminta berhenti, bukan karena malu melihat orang tuanya bekerja di pinggir jalan jadi tukang tambal ban, melainkan karena mengkhawatirkan saya yang sudah tua. Makanya diminta tidak sampai malam hari. Buktinya, kalau ada di antara mereka sedang tidak tugas dan berada di Makassar, mereka kadang ikut membantu mencungkil ban untuk ditambal," kata Mustamin.
Setelah pulang berdinas pada pukul 16.00 WITA, Mustamin lantas berganti seragam. Kakek tiga cucu ini mengaku mendapat ilmu menambal ban dari kenalannya. Awalnya dia belajar hanya buat kebutuhan pribadi. Yaitu jika suatu hari sepeda motornya bermasalah. Namun, lambat laun dia berpikir keahliannya bisa mendatangkan uang. Dia pun mulai serius menambal ban. Dalam sehari, kadang dia bisa mendapat Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu, dari tambal ban atau menambah angin.
"Saya kerja jadi tukang tambal kalau lepas tugas, dan benar-benar tidak ada tugas dari kantor atau perintah dari komandan. Sehingga kedua profesi ini tidak saling mengganggu. Saat menjadi tukang tambal ban pun saya tidak pernah mau cerita, atau mengaku-ngaku sebagai polisi. Hingga suatu hari pernah ada warga yang datang ke kantor, dan melihatku berseragam langsung menegur, kalau bapak yang pernah tambal ban kendaraannya ternyata polisi," tutur Mustamin yang bertugas di satuan Sabhara penjagaan objek vital.
Mustamin saban hari mengendarai mobil Toyota Avanza berwarna perak saat bekerja. Kendaraan bekas itu dibeli dengan mencicil dan dibantu anak-anaknya.
"Rasanya sudah benar-benar hobi, isi waktu, apalagi sudah dekat-dekat pensiun," ucap Mustamin.
Kapolsek Ujung Pandang, AKP Ananda Fauzi Harahap, yang juga atasan Mustamin mengaku mengenal baik. Hanya saja dia tidak tahu kalau ternyata Mustamin ternyata adalah bawahannya.
"Nanti sudah baca koran pagi ini. Lihat beritanya polisi seorang tukang tambal ban. Baru tahu kalau tukang tambal ban yang saya kenal ini ternyata bawahan saya," kata Ananda.
Ananda menambahkan, dia tidak merasa pekerjaan sampingan dijalani Mustamin itu melanggar aturan. Menurut dia hal itu bisa ditolerir, sepanjang positif dan dikerjakan saat lepas tugas, sehingga tidak mengganggu pekerjaan utamanya sebagai seorang polisi. Ananda juga menyatakan selama ini Mustamin tidak pernah melalaikan tugas.
Di sisi kiri pelataran monumen itu terdapat tukang tambal siap membantu. Ban kendaraan bocor, tambah angin, atau sekedar memperbaiki rantai motor yang lepas bisa dikerjakan.
Seorang pekerjanya terbilang cukup umur, tetapi masih sigap melayani. Bayarannya pun cukup murah. Tambal ban dibanderol Rp 15 ribu, sedangkan buat tambah angin satu ban sepeda motor dihargai Rp 1.000. Sembari kendaraan dikerjakan, Anda bisa sambil minum kopi dan minum-minuman ringan di seberang jalan, dilayani istri sang tukang tambal ban ini.
Ternyata pemilik kios tambal ban itu adalah Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Mustamin (57), dan istrinya, Nursin Warlela (53). Sudah lama keduanya mencari penghasilan tambahan buat menghidupi keluarga, selain dari gaji seorang abdi negara. Sudah 20 tahun dia menekuni pekerjaan itu.
Menjadi tukang tambal bagi Mustamin ternyata bukan sekadar mencari penghasilan tambahan, tetapi juga menyalurkan hobi. Dia berusaha menebalkan telinga dari cibiran orang. Anak-anaknya juga sempat meminta supaya dia berhenti menjadi tukang tambal ban. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka luluh juga. Bahkan dua dari empat anaknya juga menjadi polisi.
Mustamin ngotot menjadi tukang tambal saat lepas tugas, dengan catatan tidak boleh bekerja hingga malam. Sang istri juga menjual kopi menggunakan gerobak.
"Anak-anak sempat meminta berhenti, bukan karena malu melihat orang tuanya bekerja di pinggir jalan jadi tukang tambal ban, melainkan karena mengkhawatirkan saya yang sudah tua. Makanya diminta tidak sampai malam hari. Buktinya, kalau ada di antara mereka sedang tidak tugas dan berada di Makassar, mereka kadang ikut membantu mencungkil ban untuk ditambal," kata Mustamin.
Setelah pulang berdinas pada pukul 16.00 WITA, Mustamin lantas berganti seragam. Kakek tiga cucu ini mengaku mendapat ilmu menambal ban dari kenalannya. Awalnya dia belajar hanya buat kebutuhan pribadi. Yaitu jika suatu hari sepeda motornya bermasalah. Namun, lambat laun dia berpikir keahliannya bisa mendatangkan uang. Dia pun mulai serius menambal ban. Dalam sehari, kadang dia bisa mendapat Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu, dari tambal ban atau menambah angin.
"Saya kerja jadi tukang tambal kalau lepas tugas, dan benar-benar tidak ada tugas dari kantor atau perintah dari komandan. Sehingga kedua profesi ini tidak saling mengganggu. Saat menjadi tukang tambal ban pun saya tidak pernah mau cerita, atau mengaku-ngaku sebagai polisi. Hingga suatu hari pernah ada warga yang datang ke kantor, dan melihatku berseragam langsung menegur, kalau bapak yang pernah tambal ban kendaraannya ternyata polisi," tutur Mustamin yang bertugas di satuan Sabhara penjagaan objek vital.
Mustamin saban hari mengendarai mobil Toyota Avanza berwarna perak saat bekerja. Kendaraan bekas itu dibeli dengan mencicil dan dibantu anak-anaknya.
"Rasanya sudah benar-benar hobi, isi waktu, apalagi sudah dekat-dekat pensiun," ucap Mustamin.
Kapolsek Ujung Pandang, AKP Ananda Fauzi Harahap, yang juga atasan Mustamin mengaku mengenal baik. Hanya saja dia tidak tahu kalau ternyata Mustamin ternyata adalah bawahannya.
"Nanti sudah baca koran pagi ini. Lihat beritanya polisi seorang tukang tambal ban. Baru tahu kalau tukang tambal ban yang saya kenal ini ternyata bawahan saya," kata Ananda.
Ananda menambahkan, dia tidak merasa pekerjaan sampingan dijalani Mustamin itu melanggar aturan. Menurut dia hal itu bisa ditolerir, sepanjang positif dan dikerjakan saat lepas tugas, sehingga tidak mengganggu pekerjaan utamanya sebagai seorang polisi. Ananda juga menyatakan selama ini Mustamin tidak pernah melalaikan tugas.
5.
Bripda Eka, polwan yang nyambi jadi tukang tambal ban
Kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan ternyata tidak membuat sosok gadis berparas manis ini putus asa. Meski ayahnya hanya seorang buruh tukang tambal ban, malah membuat Bripda Eka Yuli Andini (19) bersemangat dalam menempuh masa depan sebagai polwan.
Gadis lulusan SMK Negeri 2 Salatiga jurusan Teknik Komputer dan Jaringan ini, dengan mulus lolos tanpa uang sogokan menempuh pendidikan kepolisian Pusdik Binmas, Banyu Biru, Ambarawa, Jawa Tengah. Selain itu, selama menempuh masa pendidikan sebagai Sekolah Calon Bintara (Secaba), berhasil mengukir prestasi rangking tujuh dari 7.000 peserta lainnya saat pendidikan kepolisian se-Indonesia.
Meski, sudah dua bulan menjadi polwan, Bripda Eka, panggilan sehari-harinya tidak pernah lupa disela-sela kesibukannya sebagai abdi negara tetap membantu profesi ayahnya sebagai buruh tukang tambal ban di Jalan Veteran, Pasar Sapi RT 2 RW 6, Kota Salatiga, Jawa Tengah dan bengkel.
Di rumah kontrakan sekaligus bengkel yang hanya berukuran 6 X 6 meter ini Bripda Eka jika lepas piket di Mapolresta Salatiga, Bripda Eka membantu kesibukan orang tuanya melayani langganan tambal ban ayahnya. Kesibukannya ini dilakukannya sejak duduk di bangku sekolah mulai SMP hingga SMK.
Anak pertama dari dua bersaudara pasangan Sabirin (49) dan Darwanti (40) ini awalnya sama sekali tidak terbayang dibenaknya untuk menjadi seorang Polwan. Padahal awalnya, Bripda Eka ingin bekerja di sebuah stasiun televisi besar berskala nasional. Makanya, dirinya mengambil jurusan Teknik Komputer dan Jaringan agar mahir dalam bidang editing gambar dan animasi di televisi atau bidang broadcasting.
"Orang tua saya nggak pernah mengarahkan. Saya awalnya pingin kerja di broadcast, bagian editing dan ahli animasi karena saya ingin bekerja di stasiun tv terkenal. Pernah membuat web dengan teman-teman. Suka saja ngedit video, ngedit foto pokoknya yang berbau desain grafis lah," ungkapnya saat ditemui merdeka.com Selasa (25/2) di RSUD Salatiga di Bangsal Kelas 3 Flamboyan, Kota Salatiga, Jawa Tengah menunggui ayahnya Sabirin yang sedang sakit.
Namun, menjelang kelulusan, Bripda Eka mendapat dorongan dari Mara Tilofashanti salah satu guru multimedia komputer di SMK Negeri 2 Salatiga yang saat itu ada sosialisasi penerimaan polwan dari Polresta Salatiga. Bripda Eka kemudian mencoba mengadu nasib dan keberuntungan mengikuti seleksi penerimaan Secaba Polri di Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Sebelum jadi polwan. Awalnya aku sempat daftar salah satu perusahaan perkabelan automotif di PT Autocom di Subang, Jawa Barat. Saat itu tes tertulis dulu. Terus dapat panggilan ke Semarang untuk seleksi setelah tes kesehatan di Polri. Kemudian bebarengan, saya milih seleksi di Polri saja kemudian mengikuti tes kesehatan dan membatalkan untuk tes di PT Autocom. Ingin cepet kerja biar bisa bantu ayah dan tidak menambal ban terus," tutur gadis berkelahiran 30 Juli 1996 ini.
Bripda Eka kepada merdeka.com sempat mengaku tidak percaya diri karena gadis berparas imut ini hanya memiliki tinggi badan 156 dengan berat hanya 48 saja. Namun, karena mendapat dorongan dari teman-teman sekolah, orangtua dan gurunya, akhirnya bersama 19 teman satu sekolahnya Bripda Eka mengikuti proses seleksi Secaba Polri.
"Ada teman-teman daftar sekitar sekelas lima sama saya. Kalau satu sekolah SMK Negeri 2 Salatiga ada sekitar 20 teman sama saya. Terus daftar, saya khan tinggi badan pas-pasan banget. Kok kayak tinggi badan ngepres. Di bujuk Bu Mara, udah gak papa ikut saja, tahun kemarin ada 7.000 polwan diterima. Kapan lagi ada kuota seperti itu. Eh, ternyata sekarang sudah jadi Polwan. Alhamdulillah saya jadi rangking tujuh selama pendidikan 1,5 bulan di Banyu Biru, Ambarawa," ungkapnya.
Meski telah berhasil menjadi anggota polwan, sosok Bripda Eka tetap menunjukkan kesederhanaannya. Bagaimana tidak, saat merdeka.com menemuinya baju, celana dan sepatunya yang dikenakan baju tak bermerek. Kesantunan dan kepatuhan kepada kedua orangtuanya pun tetap dijaga.
Terbukti, saat menunggui ayahnya Sabirin yang sedang sakit paru-paru, dengan setia bersama ibu dan adik semata wayangnya Arjuna Dwi Bagaskara (16) yang saat ini juga duduk di bangku sekolah SMK Negeri 2 Salatiga seperti dirinya. Meski dirinya kini telah sibuk bertugas sementara di Unit Shabara Polresta Salatiga, Jawa Tengah.
Gadis lulusan SMK Negeri 2 Salatiga jurusan Teknik Komputer dan Jaringan ini, dengan mulus lolos tanpa uang sogokan menempuh pendidikan kepolisian Pusdik Binmas, Banyu Biru, Ambarawa, Jawa Tengah. Selain itu, selama menempuh masa pendidikan sebagai Sekolah Calon Bintara (Secaba), berhasil mengukir prestasi rangking tujuh dari 7.000 peserta lainnya saat pendidikan kepolisian se-Indonesia.
Meski, sudah dua bulan menjadi polwan, Bripda Eka, panggilan sehari-harinya tidak pernah lupa disela-sela kesibukannya sebagai abdi negara tetap membantu profesi ayahnya sebagai buruh tukang tambal ban di Jalan Veteran, Pasar Sapi RT 2 RW 6, Kota Salatiga, Jawa Tengah dan bengkel.
Di rumah kontrakan sekaligus bengkel yang hanya berukuran 6 X 6 meter ini Bripda Eka jika lepas piket di Mapolresta Salatiga, Bripda Eka membantu kesibukan orang tuanya melayani langganan tambal ban ayahnya. Kesibukannya ini dilakukannya sejak duduk di bangku sekolah mulai SMP hingga SMK.
Anak pertama dari dua bersaudara pasangan Sabirin (49) dan Darwanti (40) ini awalnya sama sekali tidak terbayang dibenaknya untuk menjadi seorang Polwan. Padahal awalnya, Bripda Eka ingin bekerja di sebuah stasiun televisi besar berskala nasional. Makanya, dirinya mengambil jurusan Teknik Komputer dan Jaringan agar mahir dalam bidang editing gambar dan animasi di televisi atau bidang broadcasting.
"Orang tua saya nggak pernah mengarahkan. Saya awalnya pingin kerja di broadcast, bagian editing dan ahli animasi karena saya ingin bekerja di stasiun tv terkenal. Pernah membuat web dengan teman-teman. Suka saja ngedit video, ngedit foto pokoknya yang berbau desain grafis lah," ungkapnya saat ditemui merdeka.com Selasa (25/2) di RSUD Salatiga di Bangsal Kelas 3 Flamboyan, Kota Salatiga, Jawa Tengah menunggui ayahnya Sabirin yang sedang sakit.
Namun, menjelang kelulusan, Bripda Eka mendapat dorongan dari Mara Tilofashanti salah satu guru multimedia komputer di SMK Negeri 2 Salatiga yang saat itu ada sosialisasi penerimaan polwan dari Polresta Salatiga. Bripda Eka kemudian mencoba mengadu nasib dan keberuntungan mengikuti seleksi penerimaan Secaba Polri di Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Sebelum jadi polwan. Awalnya aku sempat daftar salah satu perusahaan perkabelan automotif di PT Autocom di Subang, Jawa Barat. Saat itu tes tertulis dulu. Terus dapat panggilan ke Semarang untuk seleksi setelah tes kesehatan di Polri. Kemudian bebarengan, saya milih seleksi di Polri saja kemudian mengikuti tes kesehatan dan membatalkan untuk tes di PT Autocom. Ingin cepet kerja biar bisa bantu ayah dan tidak menambal ban terus," tutur gadis berkelahiran 30 Juli 1996 ini.
Bripda Eka kepada merdeka.com sempat mengaku tidak percaya diri karena gadis berparas imut ini hanya memiliki tinggi badan 156 dengan berat hanya 48 saja. Namun, karena mendapat dorongan dari teman-teman sekolah, orangtua dan gurunya, akhirnya bersama 19 teman satu sekolahnya Bripda Eka mengikuti proses seleksi Secaba Polri.
"Ada teman-teman daftar sekitar sekelas lima sama saya. Kalau satu sekolah SMK Negeri 2 Salatiga ada sekitar 20 teman sama saya. Terus daftar, saya khan tinggi badan pas-pasan banget. Kok kayak tinggi badan ngepres. Di bujuk Bu Mara, udah gak papa ikut saja, tahun kemarin ada 7.000 polwan diterima. Kapan lagi ada kuota seperti itu. Eh, ternyata sekarang sudah jadi Polwan. Alhamdulillah saya jadi rangking tujuh selama pendidikan 1,5 bulan di Banyu Biru, Ambarawa," ungkapnya.
Meski telah berhasil menjadi anggota polwan, sosok Bripda Eka tetap menunjukkan kesederhanaannya. Bagaimana tidak, saat merdeka.com menemuinya baju, celana dan sepatunya yang dikenakan baju tak bermerek. Kesantunan dan kepatuhan kepada kedua orangtuanya pun tetap dijaga.
Terbukti, saat menunggui ayahnya Sabirin yang sedang sakit paru-paru, dengan setia bersama ibu dan adik semata wayangnya Arjuna Dwi Bagaskara (16) yang saat ini juga duduk di bangku sekolah SMK Negeri 2 Salatiga seperti dirinya. Meski dirinya kini telah sibuk bertugas sementara di Unit Shabara Polresta Salatiga, Jawa Tengah.
Sumber : www.merdeka.com
Sponsored Links
Loading...
loading...