Loading...

Petaniku, Gunakan "Cangkulmu" Untuk Meraih Mimpi Besarmu

Sponsored Links
.
Loading...
Pagi menyingsing disertai semburat sinar keemasan di cakrawala. Suara kokok ayam dan kepul asap dapur menemani mentari yang datang mencairkan embun. Nampak dari kejauhan beberapa lelaki memanggul cangkul menuju ke ladang, tengah hari baru pulang ke rumah dan kembali lagi sore harinya. Kemudian saat malam tiba mereka akan berkumpul pada suatu tempat untuk sekedar bercengkerama santai membahas kondisi ladang sambil mengisap rokok ditemani secangkir kopi dan berselimut sarung. Nuansa hangat ini tercipta hampir setiap hari dan seolah telah menjadi ritual rutin yang abadi khas masyarakat perdesaan pegunungan.


Seperti itulah kira-kira rutinitas para petani di kawasan pegunungan. Di tengah keletihan fisik mereka tetap menjalankan pekerjaan dengan iklas. Bagi mereka, bertani lebih dari sekedar mata pencaharian. Bertani adalah sebuah proses kehidupan yang harus dijalani dengan iklas. Ketika melihat ladang dan tanaman tumbuh dengan baik, hal itu akan membawa ketenangan batin. Itulah yang mengakibatkan petani umumnya menjalani kehidupan dengan penuh kepasrahan. Dalam interaksi kehidupan sosial pun nuansa kebersamaan dan kehangatan senantiasa dijalankan. Tak pernah lupa bagaimana jiwa gotong royong dan tepo seliro masyarakat desa begitu mengakar kuat hingga menjadi brand image.

Namun, sikap pasrah, polos dan sederhana para petani desa telah memberikan dampak. Semangat untuk mengenyam pendidikan formal biasanya rendah. Sehingga mereka menganggap pendidikan merupakan kebutuhan yang tidak penting dan tidak memberikan manfaat. Rendahnya kesadaran akan tingkat pendidikan membuat petani minim inovasi serta enggan untuk menerima sesuatu yang baru. Kemampuan bertani umumnya diperoleh secara turun-temurun. Keengganan untuk belajar menerima hal yang baru merupakan refleksi dari sikap mempertahankan sesuatu yang telah dikerjakan secara turun-temurun. Sehingga tak heran apabila sering penyuluh pertanian datang memberikan ilmu, informasi, serta membawa metoda bertani yang lebih baik akan sulit diterima. Padahal sektor pertanian sangat membutuhkan inovasi dan update informasi serta pengetahuan, dan itu membutuhkan keterbukaan dari petani untuk menerima hal baru.
Namun, sikap kepasrahan oleh petani ini ternyata juga melahirkan filosofi hidup yang apa adanya dan tidak berambisi. Dimungkinkan kontaminasi dari tingginya taraf pendidikan adalah harapan akan kehidupan yang lebih baik, cerminan dari hal itu tentu saja tingginya ambisi untuk meraih kesejahteraan. Petani umumnya terjaga dari hal itu. Variasi kehidupan mereka lebih terbatas. Jiwa hedonism dan ambisius seolah masih jauh dari petani gunung yang bertempat tinggal di desa-desa dataran tinggi. Hanya ada kepasrahan dalam menerima hidup. Sehingga ketika petani selalu didorong untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka hanya menjawab “nrimo opo ananing pandum”. 
Sikap pasrah dan kebersahajaan petani ini memang sering dikritik. Banyak yang mengatakan mereka tidak punya konsep hidup yang jelas. Tidak memiliki ambisi yang nyata. Tanpa ambisi yang kuat untuk berubah mana bisa kehidupan mereka diubah?. Tanpa keinginan yang kuat untuk menerima hal yang baru apa mungkin pengetahuan mereka akan bertambah?. Dengan kata lain, untuk merubah wajah pertanian Indonesia maka rubah dulu wajah petaninya. Tanpa kontribusi dari petani maka tidak akan ada hal besar yag dapat diraih untuk memajukan pertanian.

Namun, sikap pasrah ini ternyata melahirkan filosofi berfikir yang idealis. Sikap ini melahirkan jiwa saling berbagi dan befikir positif. Apabila banyak orang berpendapat bahwa tengkulak itu adalah pengganggu dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani. Maka beberapa petani yang berfikir positif memandang lain. Mereka meyakini bahwa rezeki dari Tuhan bukanlah monopoli. Tuhan memberikan rezeki yang memang harus dinikmati semua orang. Sungguh ini merupakan sebuah pemikiran yang penuh dengan kebijaksanaan hidup. Landasan keyakinan bahwa Tuhan telah memberikan rezeki kepada seluruh makhluknya tanpa terkecuali itu seolah menuntun mereka menjauhi ketamakan, dan ambisi berlebihan. Bagi petani kelelahan fisik itu jauh lebih baik daripada kelelahan pikiran. Pekerjaan berat  yang mereka lakukan sehari-hari, bergumul dengan terik matahari akan berakhir dengan rebah tubuh di pembaringan ketika beristirahat. Namun, ketamakan, ambisi mengejar materi hanya akan membuat hidup menjadi tidak tenang, jauh dari Tuhan dan mendekatkan mereka pada kesombongan. 

Maka dari itu, akan kurang tepat apabila dianggap petani desa yang bersahaja ini tidak memiliki konsep hidup yang jelas. Konsep hidup mereka sangatlah jelas yakni menjadi manusia yang taat akan ajaran yang diyakini, senantiasa pasrah akan pemberian Tuhan kepada mereka. Walaupun tidak semua petani desa seperti ini. Tapi setidaknya, ini merupakan contoh dimana masih banyak sikap hidup penuh kepasrahan. Kondisi ini sadar atau tidak telah melanggengkan budaya kearifan yang menjadi kebanggaan bangsa ini. 
Sejatinya, perubahan petani adalah sebuah keharusan. Petani modern yang sejahtera adalah mimpi yang harus diperjuangkan. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas petani perlu dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai hal penting. Pendidikan terapan digalakan, teknologi modern mulai diperkenalkan, dorongan, motivasi, kesempatan dan pendampingan kepada petani gunung ini harus selalu dilaksanakan secara kontinyu, dan upaya pelibatan petani dalam rangka memajukan diri mereka sendiri. Namun, merubah wajah petani tidak berarti merubah karakternya. Memodern kan petani tidak harus membuang sikap kebersahajaan mereka. biarlah ciri khas ini tetap ada pada petani desa. tidak ada salahnya apabila filosofi hidup mereka berjalan berdampingan dengan modernisasi pertanian. Karena hal itulah yang nantinya akan menjadi kontrol dan pembeda ditengah jenuhnya dunia akan faham-faham materialistik. Tentu saja kita akan memimpikan petani yang maju, modern, dan kuat. Namun jangan sampai lupa, siapa diri kita sebenarnya, dan darimana kita berasal. 



Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
Sponsored Links
Loading...
loading...
Flag Counter