Sponsored Links
Loading...
Satu kebijakan terakhir yang paling penting di bidang pembangunan pertanian
yang berkaitan dengan permasalahan agraria dalam setahun ini adalah kebijakan
tentang “lahan abadi” pertanian. Hal ini disampaikan pemerintah sebagai salah satu
bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). Namun,
jika dicermati secara mendalam, ada persoalan mendasar dibalik itu yang dapat
menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yang mendasar tersebut adalah
tidak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan, belum terpadunya penataan ruang secara
nasional maupun wilayah, dan lemahnya peran Deptan secara kelembagaan.
Mewujudkan kebijakan
tentang lahan abadi sedikit banyak akan sama dengan sulitnya mengendalikan
konversi lahan pertanian ke non pertanian. Meskipun sudah banyak himbauan dan
peraturan dibuat, namun konversi lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya
adalah karena aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah kurang memiliki landasan
yang kuat dalam hukum agraria nasional, dibandingkan dengan aspek penguasaan
dan pemilikan tanah.
Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan
“Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua
pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan
“penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua
sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, sebagian
besar pihak terutama kalangan LSM, lebih
banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan
pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform. Di sisi lain, Deptan
sebagai departemen teknis misalnya, program dan kebijakannya lebih berkaitan
dengan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan
produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa
segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan
petani, dan lain-lain. Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan
agraria telah memberikan hasil yang parsial pula. Itulah kenapa Revolusi Hijau
(aspek pengusahaan) yang tidak didahului oleh program landreform (aspek penguasaan), hanya mampu mencapai peningkatan
produksi dan swasembada, namun tidak
serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya.
Permasalahan ini akan
dibahas dalam tulisan ini, yang merupakan kajian terhadap sistem hukum dan tata
hukum agraria yang cenderung kurang mendukung kepada pembangunan pertanian.
Diharapkan tulisan dapat memberi informasi yang bermanfaat sehingga kebijakan
lahan abadi dapat diwujudkan, tentunya setelah kendala dan permasalahan dapat
ditangani.
UUPA Kurang Mengatur tentang
Aspek Penggunaan Tanah
Secara konseptual,
agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan
pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat
secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap
MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang
menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria
mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”.
Aspek “penguasaan dan pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”,
karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan
tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya
agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi.
UUPA No. 5 tahun
1960, maupun amandemennya yang sudah sejak tahun 2003 dimasukkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari
aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan
mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh
UUPA hanya berisi 58 pasal.
Selain jumlah pasal yang
lebih dominan, juga timbul kesan bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah
hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini
dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal
2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A
(amandemen). Artinya adalah, bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau
aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama.
Keluarnya produk
hukum seperti ini dapat dimengerti, karena UUPA No. 5 tahun 1960, lahir di saat
permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, jauh lebih penting dari
aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yang disusun
selama tujuh tahun, mulai tahun 1953 sampai 1960 (Wiradi, 1984), adalah bagaimana
“merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial
menjadi tanah negara dan rakyat Indonesia.
Dengan pola pikir
UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa peraturan ini
tidak melindungi kegiatan pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa
seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah
relasi hukumnya dengan tanah tersebut jelas. Dengan kondisi ini, maka berbagai
UU dan peraturan lain yang dibuat pemerintah, yang secara hierarki berada di bawah kedudukan UUPA, tidak akan
mampu merubah paradigma tersebut.
Beberapa akibat dan
implikasi yang terlihat selama ini dari paradigma berpikir UUPA tersebut di
antaranya adalah:
(1) Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi
lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Berbagai Inpres dan Perda yang
dikeluarkan berkenaan dengan konversi lahan dapat dikatakan “tidak bergigi”.
Bahkan mungkin pula dapat dikatakan bahwa Inpres dan Perda tersebut
sesungguhnya tidak konsisten dengan UUPA.
(2) Kebijakan pencadangan lahan abadi
pertanian yang dicetuskan dalam RPPK,
yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering,
sesungguhnya juga akan sulit direalisasikan. Penyebabnya adalah karena peraturan
yang ada, terutama UUPA sebagai hukum
pokok agraria, tidak cukup menjamin kebijakan tersebut.
(3) Lemahnya pengaturan dalam “aspek
penggunaan“ tersebut, secara tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya
pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang
lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan
pertanian intensif, karena hak pihak yang menguasainya dijamin secara hukum.
Kewenangan Deptan Lemah terhadap
Aspek Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan
Khusus untuk
Departemen Pertanian, tugas yang diembannya berkaitan erat dengan “hanya” pada
aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk,
dan dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan produksi pertanian. Hal ini
selaras dengan sub-sub organisasi dalam Deptan yang terdiri dari bagian yang mengurusi
teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, memikirkan
pemasarannya, dan lain-lain. Jadi, dengan fokus Deptan yang hanya terbatas pada
aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah),
sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat secara hukum, terutama
peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang kegiatan
pertanian kurang terjamin di negara ini. Menyerahkan kegiatan pertanian,
produksi pertanian, dan ketahanan
pangan, hanya kepada mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan pertanian
sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang digunakan
untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air) tersebut
digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri, pariwisata,
dan lain-lain (Husodo, 2005).
Artinya, Deptan hanya memiliki
otoritas (meskipun terbatas) pada aspek non-landreform. Ketika aspek landreform
masih tinggal menjadi wacana, Deptan (dan jajarannya) sulit untuk dituntut
melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Deptan menjalankan “Pembaruan
Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil
diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi
tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan
pendukung pertanian tidak disediakan. Di Sukabumi misalnya, banyak petani yang
memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke
masyarakat sekitar, malah menjualnya
kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena
infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani
yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).
“Aspek landreform”
dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana
faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi
setempat misalnya ketersediaan lapangan
kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik
penguasaan/pemilikan secara vertikal dan
horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”),
ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani
sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data.
Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya
adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga
tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan
penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee).
Sementara pada
“aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan
pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah,
ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan
demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan
yang dihadapi sekarang dari aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang
rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena
ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara
vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yang relevan adalah
berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien,
pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan
teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani,
penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan
keorganisasian petani.
Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan dalam RPPK
Dalam dokumen RPPK
terbaca, bahwa secara umum, sektor pertanian dihadapkan kepada sempitnya penguasaan
lahan per petani dimana banyak petani gurem (<0,5 ha/keluarga), cepatnya
konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dan tidak amannya status
penguasaan lahan (land tenure). Di
sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai dan berpotensi
dijadikan lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam revitalisasi pertanian ditempuh
beberapa strategi berkenaan dengan ini, yaitu berupa kewajiban kompensasi untuk
pihak yang melakukan konversi lahan sawah dan pembukaan lahan pertanian baru, bersamaan
dengan penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan agar
tekanan tenaga kerja terhadap lahan berkurang.
Dari luas daratan
Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai
untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai,
sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan
demikian masih terbuka peluang untuk perluasan pertanian, namun memerlukan
upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim
sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik pribadi.
Program pembukaan lahan
pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui: (a) pemanfaatan lahan
terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) di 13 propinsi, (b)
pengendalian konversi lahan sawah, (c) perluasan areal sawah di luar Pulau
Jawa, (d) perluasan areal pertanian lahan kering, (e) peningkatan luas
penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, dan (f) penguatan
kelembagaan yang kondusif untuk menunjang agroindustri pedesaan.
Pemanfaatan
lahan terlantar, berupa lahan alang-alang dan semak belukar, dilakukan pada 13 propinsi yang diprioritaskan pada wilayah
dengan kendala minimum. Lahan ini sangat berpeluang dikembangkan baik untuk
tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi dimana
infrastruktur cukup baik dan tenaga kerja tersedia.
Konversi lahan sawah
ke non pertanian yang sekarang total 110.000 ha per tahun (antara 1999-2002),
diharapkan dapat diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun mulai tahun 2009, dan
secara bertahap mendekati nol. Lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu
dipertahankan keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi
yang besar dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian
konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan
perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi
pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta
swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap
pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu
mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap
dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan
tersebut didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa,
Bali dan Lombok.
Selain pemanfaatan lahan terlantar dan pengendalian
konversi lahan, perluasan areal sawah dan lahan kering akan diarahkan terutama
ke luar Jawa. Dari sisi hukum, tanah negara yang berpotensi untuk
perluasan pertanian, terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan
selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak
guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk
merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini
dapat diperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola
secara baik dan ramah lingkungan. Saat ini, sudah ada 4,5 juta ha lahan yang
diberikan HGU oleh pemerintah, yang setengahnya berada di Pulau Sumatera.
Kebijakan Lahan Abadi
Pertanian dalam RPPK dan Kendalanya
Khusus untuk kebijakan “lahan abadi”, pemerintah telah
menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh
beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan. Lahan ini akan dibagi menjadi dua, yakni 15
juta hektar merupakan sawah beririgasi, dan 15 juta hektar merupakan lahan
kering. Lahan tersebut tersebar di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk
menjaga ketersediaan pangan nasional.
Dari sisi perencanaan tata ruang nasional, “lahan abadi”
merupakan hal yang baru, dan belum pernah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang
manapun, baik di tingkat nasional maupun daerah. Karena itu, mekanisme penetapan lahan abadi ini berpedoman
kepada penentuan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) suatu wilayah. Setelah
disepakati dalam RUTR, maka lahan yang diperuntukkan sebagai “lahan abadi”
tersebut tidak boleh berubah pemanfaatannya.
Sebagian pihak berpendapat
bahwa semestinya implementasi lahan abadi ini harus dituangkan dalam peraturan
tersendiri. Satu hal yang pasti, agar lahan abadi menjadi bagian dari RUTR
nasional, maka RUTR yang sudah ada sekarang ini perlu direvisi. Hal ini tentu
saja membutuhkan upaya hukum dan kelembagaan yang serius dan tidak akan dapat
diwujudkan dalam jangka pendek.
Kebijakan lahan abadi berpotensi untuk berbenturan dengan
berbagai peraturan dan kebijakan agraria yang telah ada sebelumya. Salah
satunya adalah dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pembebasan Lahan
untuk Kepentingan Umum (Kompas, 2005). Semangat yang ada
pada kedua kebijakan ini cenderung tidak sejalan. Pada kebijakan lahan abadi,
sebidang lahan tidak boleh digunakan selain untuk pertanian, sedangkan Perpres
36 tahun 2005 dapat merubahnya sepanjang untuk kepentingan umum.
Penetapan lahan pertanian
abadi mempersulit berubahnya fungsi lahan pertanian untuk peruntukan lain. Padahal
presiden sudah membuat peraturan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum, yang intinya mempermudah pelepasan tanah
untuk kepentingan umum, yakni bisa pasar, jalan, dan sebagainya. Lokasi yang
ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi juga harus diputuskan secara cermat
sehingga tujuan untuk menyejahterakan petani dan menjaga ketahanan pangan
nasional tercapai tanpa berbenturan dengan kepentingan lain.
Selain itu, dengan berlakunya
otonomi daerah, maka pengelolaan sumberdaya lahan menjadi kendali langsung
pemerintah daerah (Republika, 2005). Disinilah perlu diantisipasi karena
persepsi pentingnya sumberdaya lahan untuk penyediaan pangan nasional sangat
berbeda antara pemerintah kabupaten. Apalagi dengan tuntutan peningkatan
Pendapat Asli Daerah, maka mungkin saja lahan-lahan produktif di daerah dapat
menjadi korban (dikonversi ke nonpertanian) demi pembangunan.
Oleh karena itu, yang lebih penting dalam pengelolaan
lahan ini adalah komitmen bersama dari para pengambil kebijakan terutama di daerah,
dan lebih penting lagi karena pengelolaan lahan pertanian tidak bisa dibatasi
oleh wilayah administratif tetapi merupakan suatu pengelolaan suatu kawasan
ekosistem. Pengelolaan sumberdaya lahan harus diamankan melalui perangkat hukum
apakah itu dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah yang senantiasa
memihak kepada kepentingan petani.
Pada intinya, akan cukup banyak UU dan peraturan lain yang
telah ada selama ini berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam (tanah dan
air) yang perlu dikaji ulang agar tidak kontra produktif dengan konsep RPPK itu
sendiri. Contoh kasus undang-undang tentang pemanfaatan dan pengelolaan air
yang banyak mendapat kritik.
Kebutuhan dan Ketersediaan Sumber Daya lahan di Indonesia
Bagaimanapun, Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin
mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri. Hal ini mengingat besarnya jumlah
penduduk, dihadapkan dengan tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Di
sisi lain, tenaga kerja pertanian kita juga cukup banyak. Pada prinsipnya, kita
harus mandiri di bidang pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari sekadar
swasembada, karena memuat pula nuansa politik dan harga diri sebagai sebuah
bangsa (Husodo, 2005).
Dalam konteks
kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5 komoditas sebagai komoditas
pokok, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Seluruh komoditas
kecuali peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan
lahan, atau disebut sebagai land based
agriculture . Jika Indonesia ingin berswasembada untuk keempat jenis pangan
tersebut, maka untuk saat ini saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan
tersebut dapat berupa lahan sawah maupun lahan kering, namun memenuhi syarat untuk
penanaman tanaman semusim seperti halnya jagung dan kedelai.
Menurut data di
Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi
eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini
sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta
ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan
Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.
Dalam konteks usaha
budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan adalah batasan
minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga daya dukung
lahan dan prinsip sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan
kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta
ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan
sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya. Sesuai
dengan fungsinya dan kepatutan penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah
berupa hutan, sedangkan kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan
non-hutan, yaitu untuk pertanian dan non-pertanian (perumahan, industri, dan
lain-lain).
Namun, hasil
rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan lindung yang seharusnya berupa
hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta
ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali.
Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama
di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan
areal pertanian.
Berbeda dengan data
BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan
(fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian
bukan 123,4 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokumen
RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta
ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah
(sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta
ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan
lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai
untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha,
apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini,
ditemui data yang beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha
lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan
untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka
luas lahan sawah baku pada tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha.
Total areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3
juta ha, meliputi sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan
swasta besar). Jika disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai
pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha areal yang saat ini
belum dijadikan wilayah pertanian.
Lebih jauh dalam dokumen RPPK
terbaca, bahwa lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi
negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi
berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan hanya
dapat dilakukan pada lahan terlantar. Dalam dokumen tersebut juga didapati
bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian sebesar 100,8 juta
hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan
yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi
lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta
pekarangan 5,4 juta hektar.
Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan
sudah melampui ketersediaannya (over
utilization). Selain over utilization,
lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian
dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi
lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1
juta hektar di antaranya terjadi di Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di
Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan kondisi infrastruktur yang
juga lebih mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa
seperti lahan sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian.
Kondisi
lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh petani yang
sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian
di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yang masih berupa hutan di Jawa
saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yang
sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha atau 84,2 persen dari luas wilayahnya
(Kompas, 2003).
Salah
satu potensi yang sampat saat ini kurang diperhatikan adalah keberadaan lahan
rawa. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yang
tersebar dibanyak propinsi, namun yang terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13
juta ha), Sumatera (6,6 juta ha), Papua (4,2 juta ha), dan Sulawesi (1,2 juta
ha). Dengan teknologi yang ada, petani telah mampu menghasilkan 3-4 ton padi
per ha. Namun dengan peningkatan teknologi, yaitu pada skala penelitian, telah
mampu dihasilkan 7-8 ton gabah per ha. Selain untuk padi sawah, lahan rawa
juga sesuai untuk palawija yaitu jagung dan kedelai.
Ketaksiapan Sistem Hukum dan
Kelembagaan Penataan Ruang
Lahan abadi
pertanian merupakan konsep agraria yang berkenaan dengan aspek penggunaan dan
pemanfaatan lahan. Untuk mewujudkan kebijakan ini, maka sangat erat kaitannya
dengan kebijakan tentang tata ruang wilayah. Penataan ruang adalah proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
(Pasal 1 ayat 3, UUTR No. 24 tahun 1992). Tujuannya adalah agar (a)
terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, (b) terselenggaranya pengaturan
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan (c) tercapainya
pemanfaatan ruang yang berkualitas. Pada masa orde baru, pembinaan tata ruang
dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu (Sangaji,1999): (1) tata guna tanah,
berupa pemetaan penggunaan tanah dan kemampuan tanah, (2) tata kota dan daerah,
yakni penyusunan rencana pengembangan kota dan daerah, dan (3) tata agraria,
yakni pendaftaran, penertiban, serta pengawasan hak-hak atas tanah.
Kehidupan yang
berkualitas yang dituju dalam kebijakan penataan ruang, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5, adalah
berupa: (1) terwujudnya kehidupan bangsa
yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera, (2) terwujudnya keterpaduan dan
penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan
sumberdaya manusia, (3) meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (4) terwujudnya
perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan, serta (5) terwujudnya keseimbangan kepentingan
kesejahteraan dan keamanan.
Di dalam UU No. 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara
terpusat dengan UU (Pasal 9), serta secara hierarkhis atau berjenjang.
Pendekatan yang top down seperti ini dipandang sebagai pendekatan yang akan
lebih menjamin keutuhan dan konsistensi sistem tata ruang secara nasional.
Secara bertahap akhirnya
dapat disusun Tata Ruang wilayah baik secara nasional, propinsi, kabupaten,
kota dan tata ruang wilayah. Dengan dasar UU No 24 tahun 1992 telah disusun Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional atau Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang
(SNPPTR). Hal ini lalu menjadi dasar untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
propinsi daerah tingkat I, dan RTRW kebupaten atau daerah tingkat II. Dengan
adanya kebijakan Otonomi Daerah, maka alur yang topdown tersebut menjadi terbalik prosesnya. Daerah tingkat II
justeru menjadi titik tolak struktur tata ruang, yang kemudian menjadi bahan
untuk penetapan tata ruang propinsi dan nasional.
Lebih jauh,
melalui Keppres no 57 tahun 1989 telah dibentuk
tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Keberadaan tim ini mulai tahun
1993 berubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) berdasarkan Keppres
no 75 tahun 1993. Terlihat bahwa telah cukup banyak produk hukum yang
dihasilkan pemerintah untuk menyusun tata ruang agar kebutuhan pembangunan dan
sektor-sektor dapat dipenuhi.
Namun demikian, permasalahan
tata ruang di Indonesia masih merupakan masalah besar yang belum selesai, dan
dapat dikatakan masih “carut marut” (Sangaji, 1999). Selaras dengan itu,
Budiharjo (1995), menyatakan bahwa terdapat beberapa issue permasalahan tentang
tata ruang di Indonesia, terutama masalah ketepatan perencanaan. Terdapat
kecenderungan bahwa tata ruang disusun sendiri-sendiri, baik secara vertikal
maupun horizontal; sehingga saat ini tidak bisa disebutkan dengan pasti siapa
sesungguhnya yang memiliki kewenangan penuh dalam menyusun tata ruang. Setiap
instansi seolah berjalan sendiri dengan konsep dan rencananya, sehingga terjadi
tumpang tindih. Selain itu, tata ruang yang disusun selalu berubah-ubah
sehingga bersifat temporal, dan juga tidak terbuka (transparan) kepada seluruh
masyarakat.
Kesimpulan dan Saran
Kebijakan
Dari uraian di atas
terlihat bahwa, rencana untuk mewujudkan “lahan abadi pertanian” menghadapi
berbagai kendala baik dari sisi hukum, kelembagaan, maupun ketersediaan data dan informasi.
Selengkapnya, setidaknya ada lima permasalahan yang menghadang untuk mewujudkan
“lahan abadi” pertanian, yaitu:
Pertama, secara paradigmatis sistem hukum agraria kita (UUPA No. 5
tahun 1960) menempatkan “aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah” atau bagaimana
sebidang akan digunakan lebih lemah daripada pengaturan “aspek penguasaan dan
pemilikan”. Ini merupakan akar permasalahan kenapa pengaturan tata ruang yang
terpadu dan tegas sangat sulit diwujudkan, karena ketika sebidang tanah telah
dikuasai satu pihak, maka ia memiliki kewenangan untuk mempergunakannya sesuai
keinginannya.
Kedua, kebijakan lahan abadi memiliki ketidakselarasan dengan
beberapa kebijakan dan produk hukum lain, misalnya dengan Perpres No. 36 tahun
2005 tentang Penggunaan Tanah untuk Kepentingan Umum; dan dengan semangat
otonomi daerah.
Ketiga, “lahan abadi” pertanian hanya dapat diwujudkan apabila
perencanaan tata ruang baik secara nasional maupun wilayah telah disepakati.
Namun sampai saat ini, konsep tata ruang dan kebijakan tentang tata ruang di
Indonesia belum memiliki kebijakan yang konsisten, dan cenderung tumpang tindih
(secara vertikal maupun horizontal).
Keempat, secara keorganisasian dalam struktur pemerintahan, tugas
dan program yang harus dijalankan Deptan sangat erat kaitannya dengan “aspek
penggunaan dan pemanfaatan tanah”, padahal Deptan tidak memiliki otoritas yang
cukup untuk itu. Karena itu, untuk mewujudkan kebijakan lahan abadi, Deptan
membutuhkan dukungan lembaga pemerintah lain di luar Deptan.
Kelima, dari sisi pemetaan
penggunaan dan kemampuan lahan, ketersediaan data dan informasi saat ini belum
memadai untuk merumuskan dan memetakan “lahan abadi” dimaksud dalam waktu dekat.
Bertolak dari
kondisi ini, maka dasar hukum tampaknya harus menjadi basis pokok untuk dapat
mewujudkan kebijakan lahan abadi, karena permasalahan yang dihadapi banyak
berkenaan dengan hukum dan kebijakan. Kebijakan lahan abadi mestilah berdiri di
atas satu dukungan hukum yang kuat setingkat undang-undang. Secara prinsip,
sektor pertanian memang membutuhkan “Undang-Undang Pertanian” sehingga seluruh
kebijakan dapat direalisasikan. Karena belum memiliki UU Pertanian, maka kita
sulit misalnya untuk mengendalikan konversi lahan, tidak dapat melindungi
petani dan komoditas pertanian, sulit menuntut anggaran yang memadai (selama
ini anggaran Deptan lebih kurang hanya 1 persen dari APBN), serta tidak dapat
mempertahankan kelembagaan penyuluhan. Selain itu, kita pun tidak akan dapat
mewujudkan kebijakan lahan abadi.
Selain
persoalan kebijakan lahan abadi, sesungguhnya banyak hal tentang keagrariaan
yang akan dapat diselesaikan apabila kita memiliki UU Pertanian. Di antaranya
adalah batasan maksimal dan minimal kepemilikan lahan perorangan dan badan
usaha. Selain itu, kitapun dapat mengendalikan konversi lahan pertanian
misalnya dengan menerapkan kebijakan tentang pajak tanah yang tinggi untuk
penggunaan di luar pertanian, yaitu pada wilayah-wilayah yang telah
diperuntukkan bagi lahan pertanian.
Penulis : Dr. Syahyuti Peneliti Pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanianlan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161
Sponsored Links
Loading...
loading...