Sponsored Links
Loading...
Kecenderungan meningkatnya jumlah petani yang memiliki dan menggarap lahan sempit akan menjadi potensi masalah dalam upaya mencapai dan mempertahankan ketahanan pangan yang sedang diupayakan saat ini. Semakin banyak petani yang beralih profesi, baik menjadi buruh industri maupun buruh tani, bukan berarti bahwa sektor pertanian lebih efisien tenaga kerja, tetapi lebih karena terpaksa. Fenomena ini harus diantisipasi sejak sekarang. Diharapkan di masa depan pertumbuhan sektor industri berkembang cepat, seiring dengan itu diharapkan perkembangan sektor pertanian secara proporsional bergeser dari pertanian budidaya kepada pertanian industrial sebagai salah satu indikator sektor pertanian lebih maju.
Lahan merupakan faktor produksi utama untuk proses produksi di mana di atasnya bekerja semua faktor produksi lainnya. Bila faktor produksi selain lahan dapat bebas diubah skalanya sesuai perkiraan produksi yang diinginkan, tidak demikian dengan faktor produksi lahan. Lahan garapan tidak sertamerta dapat ditambah luasnya setiap saat, walaupun dana modal tersedia. Penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal sampai tingkat tertentu dapat dipenuhi, bisa dari petani sendiri maupun dari luar berupa tenaga kerja upahan maupun modal pinjaman.
Pada sisi lain, produktivitas tanaman ada batas potensinya walaupun dengan masukan teknologi, sehingga faktor produksi lahan menjadi faktor pembatas (limiting factor) untuk memperoleh produksi yang diinginkan dengan asumsi faktor produksi lain cukup tersedia. Fenomena ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh pendapatan yang cukup adalah bila menggarap lahan dengan luas minimal yang dibutuhkan. Strategi ini tentu harus didukung dengan revitalisasi dan modifikasi kebijakan, antaralain yang menyangkut keterpaduan antar cabang usahatani serta kebijakan pendekatan pemberdayaan terhadap petani. Kebijakan bantuan paket beberapa komoditas subsektor dapat diberikan pada waktu bersamaan secara terpadu kepada rumah tangga petani atau kelompok tani serta dengan pendekatan skala usaha optimal, sampai pada jangka waktu tertentu petani bisa mandiri.
Luas Lahan dan Pola Pembinaan Petani
Berapa luas lahan garapan yang diperlukan untuk memperoleh produksi dan pendapatan usahatani yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan rumah tangga petani, tentu berbeda antar wilayah atau agroekosistem serta infrastruktur pendukungnya. Petani-petani di daerah Jawa umumnya memiliki lahan yang relatif sempit akibat fragmentasi dan sistem waris yang membagi lahan untuk masing-masing ahli warisnya, tentu tidak mudah untuk memperluasnya secara individu maupun kawasan. Perluasan lahan garapan secara individu tidak mudah dilakukan karena kemampuan modal petani yang terbatas dan secara kawasan juga kecil peluangnya karena ketersediaan lahan pertanian yang sudah terbatas.
Secara nasional strategi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan program transmigrasi untuk mendapatkan lahan garapan yang cukup untuk usahatani pada areal-areal pengembangan baru seperti lahan rawa. Bagi petani-petani di luar Jawa yang memiliki lahan yang relatif lebih luas, khususnya pada daerah-daerah transmigrasi yang memiliki lahan usaha seluas dua hektar, dapat dijadikan percontohan model usahatani diversifikasi dan terpadu berbasis lahan garapan minimal. Perlu dikaji kombinasi dan berapa skala masing-masing cabang usahatani untuk memperoleh keuntungan tertinggi dengan memperhitungkan kemampuan petani menguasai faktor-faktor produksi. Secara teori dengan perhitungan ekonomis bisa saja cabang usahatani komoditas tertentu termasuk usahatani padi akan terpilih atau tidak terpilih, namun keputusan tergantung beberapa pertimbangan termasuk pertimbangan keunggulan komparatif dan kompetitif dari komoditas yang dikembangkan.
Secara teoritis untuk meningkatkan pendapatan usahatani dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu menaikkan harga jual produksi dan/atau menurunkan biaya produksi. Menaikkan harga produksi tentu harus memperhitungkan kepentingan konsumen serta dampaknya pada perekonomian nasional. Menurunkan biaya produksi dapat dilakukan dengan memberikan berbagai bantuan seperti kredit murah, subsidi sarana produksi, bantuan barang modal dan lain-lain. kecuali terhadap faktor produksi lahan, padahal lahan merupakan faktor produksi utama yang kurang fleksibel perubahannya dalam proses produksi. Perundang-undangan yang terkait masalah lahan pertanian yang ada saat ini seperti Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-undang No.5/1960); Undang-undang tentang Sistem Budidaya Tanaman (Undang-undang No.12/1992); Undang-undang tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (Undang-undang No.26/2007); Undang-undang tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Undang-undang No.41/2009), penekanannya pada upaya mempertahankan tersedianya lahan pertanian, namun tidak mengatur upaya menahan kecenderungan semakin sempitnya lahan garapan per rumah tangga petani.
Secara sederhana pertambahan kebutuhan luas lahan pertanian dapat diperkirakan berdasarkan pertambahan penduduk dan faktor lain yang mempengaruhinya. Kebijakan mengantisipasi kebutuhan lahan pertanian tentu dengan memperhitungkan kebutuhan luas lahan garapan minimal yang tetap harus dipertahankan dalam jangka panjang sampai terjadi perubahan mendasar mengenai struktur pembiayaan fakror-faktor produksi.
Kebijakan untuk mempertahankan kebutuhan luas lahan garapan minimal harus didukung oleh kebijakan lain. Program-program pemberdayaan petani selama ini dengan memberi bantuan dalam berbagai bentuk barang modal sarana produksi seperti pupuk, bibit atau benih tanaman atau ternak dengan pendekatan pemerataan sehingga bantuan yang diberikan persatuan rumah tangga petani atau kelompok tani jumlahnya relatif kecil. Kecilnya bantuan tidak memberikan dampak yang nyata terhadap perkembangan dan peningkatan pendapatan usahatani, sehingga bermuara pada terbatasnya kemampuan memupuk modal usahatani. Pendekatan pemerataan ini bisa dimodifikasi kepada pendekatan skala usaha yang optimal untuk mempercepat memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Kebijakan pendekatan pada skala usaha yang optimal harus didukung dengan kebijakan keterpaduan antar subsektor untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. Walaupun petani pada umumnya masih subsisten, bukan berarti mengabaikan pertimbangan aspek ekonomis karena usahatani menggunakan modal yang seharusnya dimanfaatkan secara efisien. Bantuan beberapa paket subsektor dapat diberikan dalam waktu bersamaan. Pada waktunya diharapkan usahatani bisa memberi pendapatan yang cukup, stabil, berkelanjutan, akhirnya petani bisa mandiri sehingga bantuan bisa dialihkan kepada petani atau kelompok tani lainnya.
Keterpaduan cabang usahatani yang paling memberikan nilai komparatif tinggi saat ini adalah antara tanaman dengan ternak di samping antar tanaman sendiri. Sejatinya petani adalah polyvalent yang bisa melakukan usahatani berbagai komoditas, walaupun ada petani yang spesifik pada komoditas tertentu karena didorong oleh faktor lingkungan fisik maupun ekonomis. Khususnya bagi petani-petani dari Jawa mempunyai kebiasaan dan keterikatan memelihara ternak sapi, kebiasaan ini terbawa ke daerah-daerah transmigrasi oleh petani transmigran sebagai daerah baru. Keunggulan ini dapat dimanfaatkan dalam rangka pemberdayaan petani, sehingga bantuan ternak sapi bisa ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Secara ekonomis usaha ternak sapi memberikan tingkat keuntungan relatif cukup besar dan dapat sebagai faktor pengungkit untuk percepatan peningkatan pendapatan usahatani. Implementasi pemberdayaan dari program subsektor peternakan selama ini umumnya bantuan ternak sapi kepada satu rumah tangga petani/peternak hanya satu- dua ekor dengan beberapa sistem pengelolaan, padahal skala usaha yang bisa memberikan nilai pendapatan yang cukup dan berkelanjutan bila mengelola minimal lima ekor per-peternak.
Perubahan terhadap pola-pola pemberdayaan petani harus diikuti dengan pembinaan yang intensif serta pengawasan yang ketat. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa masih ada sebagian petani atau kelompok tani yang kurang disiplin mematuhi aturan yang ditetapkan.
Rice Estate Salah Satu Alternatif
Ada baiknya untuk berpikir ulang (rethinking) tentang pengembangan pola rice estate untuk menuju pertanian dengan manajemen yang lebih maju. Pengembangan pertanian pada rice estate adalah pertanian holistic dengan usaha berbasis padi. Lahan-lahan usahatani sempit dapat dikonsolidasikan untuk meningkatkan efisiensi. Petani-petani bisa bekerjasama dengan pola kemitraan. Di beberapa lokasi konsep ini sudah dilakukan seperti di Pekanbaru (Riau) yang dikembangkan oleh Bosowa Corporation, demikian juga konsep rice estate ini sudah dilakukan di daerah Papua.
Pola dan sistem pengembangan pertanian yang sekarang dijalankan oleh Pemerintah pada dasarnya sudah melakukan pengembangan pertanian secara holistic, namun kurang dilakukan analisis ekonomi yang komprehensif, lebih banyak analisis parsial dan finansial. Analisis ekonomis menyangkut : kombinasi dan skala usaha yang optimal, keterkaitan antar daerah dalam satu sistem wilayah pengembangan, peta jalan (road map), tahapan dan batasan waktu pencapaian target pendapatan dan keuntungan yang ingin dicapai. Program pengembangan pertanian saat ini cenderung fokus perhatian untuk memanfaatkan potensi lahan yang masih tersedia atau belum dimanfaatkan optimal serta usaha meningkatkan produktivitas, sehingga terkesan sasaran program adalah kompilasi daftar usulan kegiatan.
Merubah apa yang sudah biasa dilakukan memang tidak gampang, namun yang pasti bila tidak dilakukan perubahan-perubahan tentu tidak akan ada perubahan hasil yang diinginkan. Diperlukan persepsi yang sama dan komitmen yang konsisten terhadap konsep-konsep terobosan perubahan untuk perbaikan dari keadaan saat ini.
Sumber : http://tabloidsinartani.com
Sponsored Links
Loading...
loading...