Sponsored Links
Loading...
Pertanian adalah sebuah produk budaya manusia yang menjadi tonggak peletak dasar perkembangan peradaban manusia. Hal itu diungkapkan pegiat gerakan petani dan pakar agraria Profesor Gunawan Wiradi di acara “Rembuk Petani Nusantara”, di hari kedua, Rabu (20/1) di Gedung Diklat Pusat Pelatihan Manajemen Dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat.
Dalam paparannya di hadapan sekitar 200-an petani yang mewakili 112 daerah di seluruh Indonesia itu, Gunawan menegaskan, petani harus yakin bahwa profesi petani adalah profesi yang sangat mulia. Gunawan mengatakan, sejak manusia prasejarah mengenal pola hidup menetap dan bercocok tanam, sejak itulah profesi petani lahir. “Dan sejak itu pula peradaban berkembang,” kata Gunawan.
Budaya bercocok tanam, kata Gunawan, merupakan akar dari lahirnya budaya manusia lainnya. “Bercocok tanam mula-mula dengan alat dari batu, maka lahirlah seni pahat. Saat menunggu panen, bersantai mendengar kicuan burung, desiran air, maka lahirlah seni suara, kemudian seni tari dan seni berikutnya yang lahir dari sejak adanya budaya pertanian,” tegasnya.
Petani, tegas Gunawan, adalah peletak dasar peradaban. “Karena itu jangan memandang rendah pertanian dan petani. Petani harus percaya diri, bahwa peradaban manusia digerakkan oleh pertanian,” ujarnya.
Perjalanan sejarah memang kemudian membuat hal itu terlupakan. Kelahiran budaya feodal telah membuat “kasta” petani turun di bawah “kasta” bangsawan. Kemudian setelah feodalisme mati, ternyata “kasta” petani tak juga naik kelas karena setelah lahirnya revolusi industri, dunia kemudian dikendalikan dan dikuasai kaum pedagang.
Dunia sendiri kemudian menyadari pentingnya untuk mengembalikan pertanian dan kaum petani kepada marwahnya sebagai penggerak peradaban. Karena itu pada bulan September tahun 2003, di Sisilia, Italia, 25 menteri pertanian dari negara Uni Eropa berkumpul untuk melakukan “rapat informal” membahas masalah kebijakan pertanian/agraria yang menghasilkan “Deklarasi Taormina”.
Deklarasi Taormina menegaskan komitmen dunia tentang kebijakan pertanian yang menekankan pada “hak kedaulatan tiap negara untuk mempertahankan kebijakan pertanianya sendiri” atau diterjemahkan sebagai “kedaulatan pangan”. Dalam pertemuan itu disepakati, bahwa tujuan untuk menjamin kualitas hidup yang memuaskan bagi rakyat pedesaan hanya bisa diwujudkan jika dilandasi oleh seperangkat nilai yang secara mantap dianut secara luas, dan menjadi dasar bagi kebijakan-kebijakan agraria serta tindakan-tindakan yang mengiringinya, baik di negara Uni Eropa sendiri, maupun diberbagai negara berkembangnya.
Dalam deklarasi tersebut dimuat tujuh nilai-nilai yang dianut bersama. Dua dari tiga poin yang relevan untuk kondisi Indonesia adalah: Pertama, keniscayaan dan kewajiban tiap negara untuk menciptakan dan mempertahankan pertanianya sendiri, dan memungkinkan tiap warga negara yang terlibat dalam kegiatan pertanian dapat memperoleh kehidupan yang layak.
Kedua, keniscayaan dan kewajiban tiap negara untuk menawarkan hari depan yang lebih maju kepada rakyat miskin dan kaum marjinal melalui “land reform” untuk menciptakan struktur masyarakat yang adil.
Sayangnya, kata Gunawan, di Indonesia gaung “Deklarasi Taormina” sendiri tak terasa. Alhasil kebijakan pertanian pemerintah justru semakin jauh dari cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan. Bahkan dalam konteks “reforma agraria”, kata dia, bangsa ini sudah melakukan kesalahan dengan menghapus Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara.
Dia berkisah, ketika Bung Karno disodori draf Rancangan Undang-Undang Agraria, Bung Karno menolak mengesahkan sebelum diuji di universitas. Ketika itu para pakar pun berdebat dalam satu soal paling mendasar: “Bagi bangsa Indonesia, tanah miliki siapa? Apakah individu? Apakah desa? Apakah negara?” Kemudian dirumuskanlah bahwa: “Bagi bangsa Indonesia, tanah adalah milik seluruh bangsa!”
Pertanyaannya kemudian, bagaimana bangsa ini mengatur pembagiannya? Maka dirumuskanlah bahwa yang mengatur tata pertanahan bagi bangsa Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Ketika MPR dihapuskan, otomatis semangat UU Agraria bahwa tanah adalah milik bangsa hilang.
Pemerintah “mengambil alih” peran itu sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan. “Padahal berdasarkan UU Agraria, pemerintah tidak boleh membagi-bagikan tanah,” ujarnya.
Karena itu, kata Gunawan, agar struktur ini bisa adil, maka semangat itu harus dikembalikan ke aslinya. “UUD 1945 yang sudah diamandemen harus dikembalikan untuk mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Itu kuncinya” pungkasnya.
Sumber ; http://villagerspost.com/special-report/petani-profesi-mulia-peletak-dasar-peradaban-manusia/
Sponsored Links
Loading...
loading...